PEMERINTAHAN,
MASYARAKAT, DAN HUKUM;
Tinjauan
Sejarah Masa Bani Umayyah
I.
PENDAHULUAN
Pemerintahan setelah khulafa al-Rasyidin diteruskan oleh masa
kekuasaan Bani Umayyah Jika dilihat melalui tinjauan sejarah Bani Umayyah
merupakan musuh bebuyutan Bani Hasyim dalam dunia politik. Bani Umayyah
berkuasa selama 90 tahun dan melahirkan 14 khalifah berdasarkan sisilah keturunannya
sendiri. Tokoh yang terkenal pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah Mu’awiyah
bin Abu Sufyan. Mu’awiyah terkenal dengan orang yang cerdik dan ahli di kancah
dunia politik, dengan kelicikan yang ia miliki dia mampu merebut kekuasaan yang
dipegang oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kekuasaan yang disinyalir diperoleh dengan
cara-cara licik dan proses diplomasi yang penuh dengan tipu muslihat. Selama
Bani Umayyah berkuasa banyak
gerakan-gerakan oposisi yang menyertai
perjalanan kekuasaan Bani Umayah.
Seperti apa keadaan politik di masa Bani Umayyah ini jika ditinjau
melalui fiqh Siyasah? Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
pemerintahan, masyarakat, dan hukum tinjauan Bani Umayyah dikaitkan dengan
posisi agama dan negara pada pemerintahan Bani Umayyah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
Sejarah Peralihan kepada Bani Umayyah?
B.
Bagaimana
Posisi Agama dan Negara pada Pemerintahan Bani Umayyah?
C.
Bagaimana
Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Masa ini?
D.
Bagaimana
Kebijakan Keagamaan dari Masa ke Masa pemerintahan Bani Umayyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Peralihan kepada Bani Umayyah
Dalam masa peralihan dari pemerintahan masa Khulafa’ur rasyidin ke
bani Umayyah berawal dari perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah. Perang ini menurut sejarah berawal dari keinginan Bani umayyah untuk
mengambil alih kekuasan kembali setelah Usman Bin Affan wafat. Usman bin Affan
merupakan khalifah ke-3 sebelum Ali dan berasal dari bani Umayyah, yang pada
masa pemerintahannya berakhir dengan pembunuhan khlifah. Pembunuhan Usman belum
diketahui jelas siapa pembunuhnya sampai saat ini.
Ketua Bani Umayyah yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria,
mengharapkan ke khalifahan. Mu’awiyyah yang cerdik itu memanfaatkan keadaan terbunuhnya Usman untuk
kepentingannya sendiri dan bertujuan untuk menjatuhkan nama khalifah Ali di
mata umat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di
masjid Damaskus barang-barang peninggalan khalifah Usman beserta potongan jari
bibi Naila, istri khalifah Usman yang terpotong ketika hendak menyelamatkan
suaminya. Dia menuntut Ali menemukan dan menghukum para pembunuh, kalau tidak
dia harus menerima sebagai pembunuhnya. Demikian usaha Mu’awiyyah untuk
menjatuhkan khalifah Ali dan menentang untuk meletakkan jabatannya maka
terjadilah perang siffin. Khalifah Ali ingin menghindari pertempuran umat Islam
dan ingin menyelesaikan perselisihan itu dengan jalan damai. Mu’awiyyah terus
menuntut penghukuman segera bagi para pembunuh, tidaklah mungkin bagi Ali untuk
mengatur hukuman para pembunuh dengan segera pada waktu itu.[1]
Pada akhirnya penyelesaian perang Siffin diselesaikan dengan kompromi
antara Ali dengan Muawiyah. Namun hal ini tidak menguntungkan bagi Ali, karena
hal tersebut menimbulkan pecahnya kaum muslimin (syi’ah dan Khawarij), sehingga
kepemimpinan Ali semakin lemah dan Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20
Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. [2]
Peristiwa peralihan kekuasaan ke bani Umayyah sebenarnya terjadi
setelah Hasan bin Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah
pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin
lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan
sepenuhnya kepada Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan
sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa
itu dalam Islam dikenal dengan tahun persatuan (‘am al-Jama’ah), yaitu
episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan
seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Mu’awiyah setelah
Mu’awiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan. [3]
Persyaratan yang diajukan oleh Hasan yaitu:
a.
Agar
Mu’awiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak
b.
Menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka
c.
Agar
pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun
d.
Agar
Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham
e.
Pemberiam
kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada bani Abdis
Syams.[4]
Persyaratan Hasan disetujui oleh Mu’awiyah, persetujuan Mu’awiyah
ini diimbangi oleh Hasan dengan membai’atnya. Rakyat juga menunjukkan ketaatan
dengan membai’atnya. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa
al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah
politik.
B.
Posisi Agama dan Negara pada pemerintahan Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan bani
Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi
monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), Mu’awiyah bermaksud mencontoh
monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah
khalifah, namun diam memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut, dian menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat oleh Allah.[5]
Muawiyah dan para
penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman khulafaur rasyidin.
Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat dalam
pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan
tentara. Tapi dizaman khalifah Umar bin Abd al-Aziz kebijakan itu ia hapuskan,
karena orang-orang non-muslim (Yahudi, Nasrani, dan Majusi) yang memperoleh
privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan
menganggap rendah mereka. Di dalam Al-Qur’an memang terdapat
peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut
orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan
oarang-orang mukmin.[6]
Dari kebijakan yang dilakukan Umar bin Abd. Al-Aziz menjelaskan
bahwa formalitas agama pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini tetap dipatuhi
dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
Posisi negara pada pemerintahan masa ini membentuk beberapa lembaga
yang mengurusi negara. Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur
pemerintahan Bani Umayyah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur
rasyidin yang diciptakan oleh khalifah Umar. Setiap propinsi dikepalai oleh
gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur
didampingi oleh seorang katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan
pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan),
shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan
hakim).
Ditingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan
departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Para Al-katib bertugas
mengurus administrasi negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan
kemaslahatan negara. Al-Hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana)
bertugas mengatur para pejabat atau siapa pun yang ingin bertemu dengan
khalifah. Lembaga lain adalah di bidang pelaksanaan hukum, yaitu Al- Nizham al-qadha’i
terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat, dan al-mazhalim. Badan
al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum
dan peraturan yang digalai langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atu ijma’ dan
atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam
menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai negara yang melakukan
pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya
menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badn al-mazhalim disebut
qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini
lebih tinggi dari al-qadha dan al-hisbat,
karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan
keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib.
Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu
ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang
menyalahgunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini
dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para para pembantu sebagai juri, para
hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi
al-mazhalim. Berarti pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode
negara Madinah, peradilan masih tetap dilksanakan.[7]
Di dalam tubuh organisasi pemerintahan diasti Umayah juga dibentuk
beberapa diwan atau departemen.[8]
1.
Diwan
al-Rasail, departemen yang
mengurus surat-surat negara dari khalifah kepada para gubernur atau menerima
surat-surat dari gubernur.
2.
Diwan
al-Khatim, departemen
pencatatan yang bertugas menyalin dan meregristasi semua keputusan khalifah
atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di
daerah.
3.
Diwan
al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang
diperoleh dari al-kharaj, ‘usyr, zakat, jizyah, fa’i dan ghanimah dan
sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh disimapan di Baitul Mal
(kantor perbendaharan agama).
4.
Diwan
al-barid, departemen pelayanan pos bertugas
melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada pemerintah
pusat dan sebaliknya. Sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di
daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah.
5.
Diwan
al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas
mengorganisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.
C.
Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Masa ini
Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh
khalifah Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khilafah yang
bercorak demokratis menjadi sistem monarkhi dengan mengangkat putranya, Yazid,
menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya
nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun temurun yang
diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori
meninggalkan tradisi di zaman Khulafa al-Rasyidin dimana khalifah ditetapkan
melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas
musyawarah yang diperintakan oleh al-Qur’an agar segala urusan diputuskan
melalui musyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat
Islam golongan syi’ah (pendukung Ali), Abd al-rahman bin Abi Bakar, Husein bin
Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah
mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak
Rasulullah atau Abu Bakar maupan Umar dalam urusan khalifah tidak mendahulukan
kabilah dari umat. Muawiyah tidak menggubris saran ini. Alasan yang dikemukakan
karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas
keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Sesuai
penyebutan dirinya yaitu status jabatan khalifah diartikan sebagai “Khalifah Allah”
(wakil Allah) dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al-Qur’an, QS.
Al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa
keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang
menentangnya adalah kafir. [9]
D.
Kebijakan keagamaan dari masa ke masa
Bani Umayyah
memegang kekuasaan Islam selama sembilan puluh tahun dengan pusat pemerintahan berada di Damaskus (Suriah).
Selama kurun waktu tersebut pemerintahan dipegang oleh empat belas orang
khalifah. Khalifah-khalifah tersebut adalah sebagai berikut :
No
|
Nama Khalifah
|
Masa
|
Kebijakan kegamaan
|
1
|
Mu’awiyah bin
Abi Sufyan
|
661 - 680 M
(41 - 60H)
|
Merupakan
khalifah 1 di bani Umayyah. Kebijakan keagamaannya mengubah sistem
pemerintahan demokratis menjadi sistem monarkhi (kerajaan turun temurun)
|
2
|
Yazid bin
Mu’awiyah
|
680
– 683M
(60-64
H)
|
Polotisasi
agama sangat terlihat jelas. Yazid Memerangi kelompok yang tidak mau berbaiat
(penduduk Hijaz yaitu mekah dan medinah), dan terjadi peristiwa Karbala yang
menewaskan Husein
|
3
|
Mu’awiyah bin
Yazid
|
683-684
M
64
H
|
Pengangkatan
mu’awiyah oleh ayahnya yang lebih mementingkan silsilah garis keturunan
keluarga, sehingga Muawiyah II tidak mempunyai kebijakan apapun karena bukan
seorang negarawan yang bisa memimpin negara
|
4
|
Marwan bin Hakam
|
684 – 685M
(64-65 H)
|
Membabat
habis gerakan anti khalifah. Abdullah bin Zubair (pembela Hiaz) terbunuh
|
5
|
Abdul
Malik bin Marwan
|
685
–705 M
(65
– 86 H)
|
Banyak
kebijakan yang berhasil ia terapkan, namun yang menyangkut soal agama yaitu
memulihkan kembali kesatuan dunia Islam. Ia dipanggilkan sarjana oleh karena keahliannya
dalam permasalahan keagamaan.[10]
|
6
|
Walid
ibnu Abdul Malik
|
705-715
M
(86-96
H)
|
Banyak
menciptakan kebijakan di bidang agama, seperti mendirikan madrasah dan
sekolah kedokteran, menjamin kehidupan anak yatim dan janda yg ditinggal mati
perang, membangun pusat kajian al-Qur’an dan Hadis di Mekah Medinah, membangun
masjid (al-Amawy di Damaskus).
|
7
|
Sulaiman
bin Abdul malik
|
715-717
M
(96-99H)
|
Berbuat
kebijakan yang tidak dipertanggung jawabkan seperti memecat pejabat yang baik
Musa dan thoriq secara sepihak
|
8
|
Umar
bin Abdul Aziz
|
717-720
M
(99-101H)
|
Mengembalikan
peraturan pemerintahan seperti pada masa khulafa al-Rasyidin. Memberikan hak
dan kewajiban trhdp orang Arab ataupun Mawali secara sejajar. Memecat pejabat
yang KKN dan tidak cakap.[11]
Menciptakan perdamaian antara penguasa dan pejabat. Mempersatukan kelompok
oposisi seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah serta menjalin hubungan baik
dengan mereka. Memberi kebebasan pada penganut agama lain dalam beribadah.
|
9
|
Yazid
II bin Abdul Malik
|
720-724
M
(101-105
H)
|
Melawan
pemberontakan2 dan konflik antar suku & ras seperti gerakan Abasiyyah
|
10
|
Hisyam
bin Abdul Malik
|
724-743M
105-125
H
|
Memecat
pejabat yg diangkat oleh Yazid II, yg dianggap tdk cakap & korup
|
11
|
Al-Walid
II bin Yazid II
|
743-744
M
125-126
H
|
Kebijakan
khalifah ini kembali pada pemerintahan sebelum di Umar II, pemerintahan carut
marut.
|
12
|
Yazid
bin al-Walid
|
744
M
(126H)
|
Menetapkan
paham jabariyah yang menjadikan ia dimusuhi oleh para ulama ortodoks
|
13
|
Ibrahim
bin al-Walid II
|
744
M
(126
H)
|
Kondisi
Bani Umayyah yang semakin merosot, Ibarahim tidak diakui sebagai khalifah
secara resmi
|
14
|
Marwan
ibn Muhammad / Marwan II
|
126-132
H / 744-750M
|
Terjadi
pemberontakan2. Tdk hanya terjadi dari berbagai pihak luar namun juga terjadi
perang saudara dan persoalan intern istana
|
IV.
ANALISIS
Mengapa terjadi politisasi agama?
Dari awal kekuasaan Bani Umayah sudah terjadi konflik yang
memperubutkan kedudukan politik yang lebih mementingkan keturunan keluarga.
Perebutan kekuasaan yang dilakukan Muawiyah bin Abu Sufyan untuk mengambil alih
jabatan khalifah yang pada masa itu dipegang oleh khalifah Ali menimbulkan
banyak kekacauan. Muawiyah ingin mengalihkan jabatan kekhalifahan dari
keturunan Bani Hasyim ke Bani Umayah. Berawal dari wafatnya khalifah Usman yang sampai saat ini masih menjadi rahasia
sejarah tentang siapa pembunuh beliau. Perlu diketahui bahwa Usman bin Affan adalah
khalifah dari keluarga bani Umayah, namun setelah beliau meninggal karena
terbunuh, kepemimpinan di pegang kembali oleh Bani Hasyim dengan pemba’iatan khalifah
Ali.
Berawal dari ambisi itu kemudian Muawiyah dengan akalnya yang
cerdas namun licik, mengungkit kembali masalah pembunuhan Usman yang
mengakibatkan perang Siffin Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang akhirnya
perang tersebut diakhiri dengan peristiwa arbitrase/ tahkim yang menyebabkan
munculnya kelompok Al Khawarij dan Syi’ah. Perang
Siffin berakhir dengan kemenangan Muawiyah, hal ini merupakan akhir dari
pemerintahan khulafa al-Rasyidin dan awal dimulainya kekuasaan Bani Umayah. Namun
sangat disayangakan, pemerintahan bani Umayah berbeda jauh dari masa
pemerintahan khulafa al-rasyidin. Muawiyah mengubah sistem pemerintahan yang
tadinya demokratis menjadi sistem kerajaan monarkhi dimana para pemimpinnya
diangkat secra turun temurun (keluarga).
Hal ini membuat masyarakat geram dan memberontak, namun dengan
akalnya yang cerdas Muawiyah mampu mengatasinya. Muawiyah mengatakan bahwa
dirinya adalah “Khalifah Allah” (wakil Allah) dalam memimpin umat dengan
mengaitkannya kepada al-Qur’an, QS. Al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini dinasti
menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah.
Siapa yang menentangnya adalah kafir. Jadi jelas bahwa sistem perpolitikan pada
masa Bani Umayyah memang terjadi politisasi agama, karena penguatan perpolitikan
menggunakan dalil-dalil al-Qur’an yang merupakan sumber hukum agama.
V. KESIMPULAN
Peristiwa peralihan kekuasaan ke bani Umayyah terjadi setelah Hasan
bin Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah pengganti Ali,
mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi
pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada
Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha
rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah.
Tidak semua yang menjabat khalifah memerankan agama dalam dunia
politiknya, namun jika dilihat kebijakan yang dilakukan Umar bin Abd. Al-Aziz
menjelaskan bahwa formalitas agama pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini tetap
dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam. Posisi
negara, masa pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode negara
Madinah, peradilan masih tetap dilksanakan sebagai contoh, bila ada suatu kasus
perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang
rakyat maupun pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, badan ini
menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini
dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para para pembantu sebagai juri, para
hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi
al-mazhalim.
Legitimasi agama pada sistem perpolitikan di masa ini muali
terlihat pada pemeriatahan Umar bin Abd al-Aziz. Yang pada pemerintahan
sebelumnya masih mengangkat pejabat-pejabat yang non-muslim mulai dihapus dan
tidak diperbolehkan lagi pejabat-pajabat yang mengurusi negara dari pihak non
muslim.
Kebijakan keagamaan dari masa-kemasa terdapat banyak perubahan,
antara khalifah satu ke khalifah berikutnya membuat kebijakan yang
berbeda-beda. Banyak para khalifah berhasil dalam ekspansi atau perluasan.
Kebijakan keagamaan kembali terlihat pada masa ke khalifahan Umar Ibn Abd
al-Aziz, pada pemerintahan ini berhasil mempersatukan kolompok oposisi yang
berseteru yaitu Syi’ah, Khawrij dan Mu’tazilah menjadi damai dan bersatu. Namun
setelah khalifah diganti kelompok tersebut kembali berseteru dalam hal
perpolitikan negara.
VI.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat.
Saya sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat
diharapkan agar makalah yang kedepan dapat lebih baik. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semuanya, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2010
Khoiriyyah,
Reorientai wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta : Teras. 2012
Mahmudunnasir,
Syed. Islam konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005
Pulungan,
J. Suyuthi. Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994
Sou’yb,
Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus. Jakarta : Bulan Bintang
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra. 2002
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003
[1] Syed Mahmudunnasir,
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya , 2005), hlm.
168
[2] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 69
[3] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 162-163
[4] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010) , hlm. 122
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 42
[6] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 166
[7] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 168-169
[8]J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 170
[9] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 166-168
[10] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, ( Jakarta : Bulan
Bintang), hlm. 84-85
[11] Khoiriyyah, Reorientai
wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet.1, hlm.73-79