Selasa, 30 April 2013




PEMERINTAHAN, MASYARAKAT, DAN HUKUM;
Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah

I.     PENDAHULUAN
Pemerintahan setelah khulafa al-Rasyidin diteruskan oleh masa kekuasaan Bani Umayyah Jika dilihat melalui tinjauan sejarah Bani Umayyah merupakan musuh bebuyutan Bani Hasyim dalam dunia politik. Bani Umayyah berkuasa selama 90 tahun dan melahirkan 14 khalifah berdasarkan sisilah keturunannya sendiri. Tokoh yang terkenal pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyah terkenal dengan orang yang cerdik dan ahli di kancah dunia politik, dengan kelicikan yang ia miliki dia mampu merebut kekuasaan yang dipegang oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kekuasaan yang disinyalir diperoleh dengan cara-cara licik dan proses diplomasi yang penuh dengan tipu muslihat. Selama Bani Umayyah berkuasa banyak gerakan-gerakan oposisi yang menyertai perjalanan kekuasaan Bani Umayah.
Seperti apa keadaan politik di masa Bani Umayyah ini jika ditinjau melalui fiqh Siyasah? Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemerintahan, masyarakat, dan hukum tinjauan Bani Umayyah dikaitkan dengan posisi agama dan negara pada pemerintahan Bani Umayyah.
II.  RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaimana Sejarah Peralihan kepada Bani Umayyah?
B.       Bagaimana Posisi Agama dan Negara pada Pemerintahan Bani Umayyah?
C.       Bagaimana Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Masa ini?
D.      Bagaimana Kebijakan Keagamaan dari Masa ke Masa pemerintahan Bani Umayyah?
III.   PEMBAHASAN
A.      Sejarah Peralihan kepada Bani Umayyah
Dalam masa peralihan dari pemerintahan masa Khulafa’ur rasyidin ke bani Umayyah berawal dari perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Perang ini menurut sejarah berawal dari keinginan Bani umayyah untuk mengambil alih kekuasan kembali setelah Usman Bin Affan wafat. Usman bin Affan merupakan khalifah ke-3 sebelum Ali dan berasal dari bani Umayyah, yang pada masa pemerintahannya berakhir dengan pembunuhan khlifah. Pembunuhan Usman belum diketahui jelas siapa pembunuhnya sampai saat ini.
Ketua Bani Umayyah yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, mengharapkan ke khalifahan. Mu’awiyyah yang cerdik itu  memanfaatkan keadaan terbunuhnya Usman untuk kepentingannya sendiri dan bertujuan untuk menjatuhkan nama khalifah Ali di mata umat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di masjid Damaskus barang-barang peninggalan khalifah Usman beserta potongan jari bibi Naila, istri khalifah Usman yang terpotong ketika hendak menyelamatkan suaminya. Dia menuntut Ali menemukan dan menghukum para pembunuh, kalau tidak dia harus menerima sebagai pembunuhnya. Demikian usaha Mu’awiyyah untuk menjatuhkan khalifah Ali dan menentang untuk meletakkan jabatannya maka terjadilah perang siffin. Khalifah Ali ingin menghindari pertempuran umat Islam dan ingin menyelesaikan perselisihan itu dengan jalan damai. Mu’awiyyah terus menuntut penghukuman segera bagi para pembunuh, tidaklah mungkin bagi Ali untuk mengatur hukuman para pembunuh dengan segera pada waktu itu.[1]
Pada akhirnya penyelesaian perang Siffin diselesaikan dengan kompromi antara Ali dengan Muawiyah. Namun hal ini tidak menguntungkan bagi Ali, karena hal tersebut menimbulkan pecahnya kaum muslimin (syi’ah dan Khawarij), sehingga kepemimpinan Ali semakin lemah dan Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. Kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. [2]
Peristiwa peralihan kekuasaan ke bani Umayyah sebenarnya terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam Islam dikenal dengan tahun persatuan (‘am al-Jama’ah), yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Mu’awiyah setelah Mu’awiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan. [3]
Persyaratan yang diajukan oleh Hasan yaitu:
a.    Agar Mu’awiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak
b.    Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka
c.    Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun
d.   Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham
e.    Pemberiam kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada bani Abdis Syams.[4]
Persyaratan Hasan disetujui oleh Mu’awiyah, persetujuan Mu’awiyah ini diimbangi oleh Hasan dengan membai’atnya. Rakyat juga menunjukkan ketaatan dengan membai’atnya. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik.
B.     Posisi Agama dan Negara pada pemerintahan Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun diam memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dian menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[5]
 Muawiyah dan para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman khulafaur rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di kesatuan-kesatuan tentara. Tapi dizaman khalifah Umar bin Abd al-Aziz kebijakan itu ia hapuskan, karena orang-orang non-muslim (Yahudi, Nasrani, dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Di dalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan oarang-orang mukmin.[6]
Dari kebijakan yang dilakukan Umar bin Abd. Al-Aziz menjelaskan bahwa formalitas agama pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
Posisi negara pada pemerintahan masa ini membentuk beberapa lembaga yang mengurusi negara. Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Bani Umayyah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur rasyidin yang diciptakan oleh khalifah Umar. Setiap propinsi dikepalai oleh gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim).
Ditingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Para Al-katib bertugas mengurus administrasi negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-Hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapa pun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga lain adalah di bidang pelaksanaan hukum, yaitu Al- Nizham al-qadha’i terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat, dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digalai langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atu ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badn al-mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari  al-qadha dan al-hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib.
Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim  yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim. Berarti pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode negara Madinah, peradilan masih tetap dilksanakan.[7] 
Di dalam tubuh organisasi pemerintahan diasti Umayah juga dibentuk beberapa diwan atau departemen.[8]
1.         Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat negara dari khalifah kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari gubernur.
2.         Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregristasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah.
3.         Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh dari al-kharaj, ‘usyr, zakat, jizyah, fa’i dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh disimapan di Baitul Mal (kantor perbendaharan agama).
4.         Diwan al-barid, departemen pelayanan pos bertugas melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah.
5.         Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.
C.    Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Masa ini
Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh khalifah Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khilafah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarkhi dengan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di zaman Khulafa al-Rasyidin dimana khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintakan oleh al-Qur’an agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan syi’ah (pendukung Ali), Abd al-rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar maupan Umar dalam urusan khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak menggubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Sesuai penyebutan dirinya yaitu status jabatan khalifah diartikan sebagai “Khalifah Allah” (wakil Allah) dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al-Qur’an, QS. Al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir. [9]
D.    Kebijakan keagamaan dari masa ke masa
Bani Umayyah memegang kekuasaan Islam selama sembilan puluh tahun dengan pusat pemerintahan berada di Damaskus (Suriah). Selama kurun waktu tersebut pemerintahan dipegang oleh empat belas orang khalifah. Khalifah-khalifah tersebut adalah sebagai berikut :
No
Nama Khalifah
Masa
Kebijakan kegamaan
1
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
661 - 680 M
(41 - 60H)
Merupakan khalifah 1 di bani Umayyah. Kebijakan keagamaannya mengubah sistem pemerintahan demokratis menjadi sistem monarkhi (kerajaan turun temurun)
2
Yazid bin Mu’awiyah
680 – 683M
(60-64 H)
Polotisasi agama sangat terlihat jelas. Yazid Memerangi kelompok yang tidak mau berbaiat (penduduk Hijaz yaitu mekah dan medinah), dan terjadi peristiwa Karbala yang menewaskan Husein
3
Mu’awiyah bin Yazid
683-684 M
64 H
Pengangkatan mu’awiyah oleh ayahnya yang lebih mementingkan silsilah garis keturunan keluarga, sehingga Muawiyah II tidak mempunyai kebijakan apapun karena bukan seorang negarawan yang bisa memimpin negara
4
Marwan bin Hakam
684 – 685M
(64-65 H)
Membabat habis gerakan anti khalifah. Abdullah bin Zubair (pembela Hiaz) terbunuh
5
Abdul Malik bin Marwan
685 –705 M
(65 – 86 H)
Banyak kebijakan yang berhasil ia terapkan, namun yang menyangkut soal agama yaitu memulihkan kembali kesatuan dunia Islam. Ia dipanggilkan sarjana oleh karena keahliannya dalam permasalahan keagamaan.[10]
6
Walid ibnu Abdul Malik
705-715 M
(86-96 H)
Banyak menciptakan kebijakan di bidang agama, seperti mendirikan madrasah dan sekolah kedokteran, menjamin kehidupan anak yatim dan janda yg ditinggal mati perang, membangun pusat kajian al-Qur’an dan Hadis di Mekah Medinah, membangun masjid (al-Amawy di Damaskus).
7
Sulaiman bin Abdul malik
715-717 M
(96-99H)
Berbuat kebijakan yang tidak dipertanggung jawabkan seperti memecat pejabat yang baik Musa dan thoriq secara sepihak
8
Umar bin Abdul Aziz
717-720 M
(99-101H)
Mengembalikan peraturan pemerintahan seperti pada masa khulafa al-Rasyidin. Memberikan hak dan kewajiban trhdp orang Arab ataupun Mawali secara sejajar. Memecat pejabat yang KKN dan tidak cakap.[11] Menciptakan perdamaian antara penguasa dan pejabat. Mempersatukan kelompok oposisi seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah serta menjalin hubungan baik dengan mereka. Memberi kebebasan pada penganut agama lain dalam beribadah.
9
Yazid II bin Abdul Malik
720-724 M
(101-105 H)
Melawan pemberontakan2 dan konflik antar suku & ras seperti gerakan Abasiyyah
10
Hisyam bin Abdul Malik
724-743M
105-125 H
Memecat pejabat yg diangkat oleh Yazid II, yg dianggap tdk cakap & korup
11
Al-Walid II bin Yazid II
743-744 M
125-126 H
Kebijakan khalifah ini kembali pada pemerintahan sebelum di Umar II, pemerintahan carut marut.
12
Yazid bin al-Walid
744 M
(126H)
Menetapkan paham jabariyah yang menjadikan ia dimusuhi oleh para ulama ortodoks
13
Ibrahim bin al-Walid II
744 M
(126 H)
Kondisi Bani Umayyah yang semakin merosot, Ibarahim tidak diakui sebagai khalifah secara resmi
14
Marwan ibn Muhammad / Marwan II
126-132 H / 744-750M
Terjadi pemberontakan2. Tdk hanya terjadi dari berbagai pihak luar namun juga terjadi perang saudara dan persoalan intern istana
IV.    ANALISIS
Mengapa terjadi politisasi agama?
Dari awal kekuasaan Bani Umayah sudah terjadi konflik yang memperubutkan kedudukan politik yang lebih mementingkan keturunan keluarga. Perebutan kekuasaan yang dilakukan Muawiyah bin Abu Sufyan untuk mengambil alih jabatan khalifah yang pada masa itu dipegang oleh khalifah Ali menimbulkan banyak kekacauan. Muawiyah ingin mengalihkan jabatan kekhalifahan dari keturunan Bani Hasyim ke Bani Umayah. Berawal dari wafatnya khalifah Usman  yang sampai saat ini masih menjadi rahasia sejarah tentang siapa pembunuh beliau. Perlu diketahui bahwa Usman bin Affan adalah khalifah dari keluarga bani Umayah, namun setelah beliau meninggal karena terbunuh, kepemimpinan di pegang kembali oleh Bani Hasyim dengan pemba’iatan khalifah Ali.
Berawal dari ambisi itu kemudian Muawiyah dengan akalnya yang cerdas namun licik, mengungkit kembali masalah pembunuhan Usman yang mengakibatkan perang Siffin Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang akhirnya perang tersebut diakhiri dengan peristiwa arbitrase/ tahkim yang menyebabkan munculnya kelompok Al Khawarij dan Syi’ah. Perang Siffin berakhir dengan kemenangan Muawiyah, hal ini merupakan akhir dari pemerintahan khulafa al-Rasyidin dan awal dimulainya kekuasaan Bani Umayah. Namun sangat disayangakan, pemerintahan bani Umayah berbeda jauh dari masa pemerintahan khulafa al-rasyidin. Muawiyah mengubah sistem pemerintahan yang tadinya demokratis menjadi sistem kerajaan monarkhi dimana para pemimpinnya diangkat secra turun temurun (keluarga).
Hal ini membuat masyarakat geram dan memberontak, namun dengan akalnya yang cerdas Muawiyah mampu mengatasinya. Muawiyah mengatakan bahwa dirinya adalah “Khalifah Allah” (wakil Allah) dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al-Qur’an, QS. Al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir. Jadi jelas bahwa sistem perpolitikan pada masa Bani Umayyah memang terjadi politisasi agama, karena penguatan perpolitikan menggunakan dalil-dalil al-Qur’an yang merupakan sumber hukum agama. 
V. KESIMPULAN
Peristiwa peralihan kekuasaan ke bani Umayyah terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibai’at oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah pengganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Mu’awiyyah, langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah.
Tidak semua yang menjabat khalifah memerankan agama dalam dunia politiknya, namun jika dilihat kebijakan yang dilakukan Umar bin Abd. Al-Aziz menjelaskan bahwa formalitas agama pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam. Posisi negara, masa pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode negara Madinah, peradilan masih tetap dilksanakan sebagai contoh, bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim  yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim.
Legitimasi agama pada sistem perpolitikan di masa ini muali terlihat pada pemeriatahan Umar bin Abd al-Aziz. Yang pada pemerintahan sebelumnya masih mengangkat pejabat-pejabat yang non-muslim mulai dihapus dan tidak diperbolehkan lagi pejabat-pajabat yang mengurusi negara dari pihak non muslim.  
Kebijakan keagamaan dari masa-kemasa terdapat banyak perubahan, antara khalifah satu ke khalifah berikutnya membuat kebijakan yang berbeda-beda. Banyak para khalifah berhasil dalam ekspansi atau perluasan. Kebijakan keagamaan kembali terlihat pada masa ke khalifahan Umar Ibn Abd al-Aziz, pada pemerintahan ini berhasil mempersatukan kolompok oposisi yang berseteru yaitu Syi’ah, Khawrij dan Mu’tazilah menjadi damai dan bersatu. Namun setelah khalifah diganti kelompok tersebut kembali berseteru dalam hal perpolitikan negara.
VI.   PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat. Saya sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat diharapkan agar makalah yang kedepan dapat lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya, Amin.












DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.  2010
Khoiriyyah, Reorientai wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta : Teras. 2012
Mahmudunnasir, Syed. Islam konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus. Jakarta : Bulan Bintang
Syukur,  Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2002
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003


[1] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya , 2005), hlm. 168
[2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 69
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 162-163
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010) , hlm. 122
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 42
[6] J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 166
[7] J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 168-169
[8]J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 170
[9] J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 166-168
[10] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, ( Jakarta : Bulan Bintang), hlm. 84-85
[11] Khoiriyyah, Reorientai wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), cet.1, hlm.73-79